Sabtu, 14 Desember 2013

Loving and Loveable Teacher



Guru adalah orangtua pengganti di sekolah. Anak diharapkan merasa nyaman saat berada di sekolah. Guru bukanlah pelayan bagi siswanya. Guru memfasilitasi, mengarahkan, memberikan kesempatan. Ada kalanya guru harus bersikap tegas. Ada kalanya guru bersikap hangat.
Mencontohkan Permainan pada Siswa

Anak butuh disayang, butuh merasa diterima, butuh merasa dihargai dan diakui, mereka perlu merasa aman. Bila guru hanya mengkondisikan diri sebagai sosok yang mendisiplinkan anak. Sebagai sumber ilmu. Sebagai sosok yang hanya mengejar pembuktian kemampuannya dalam menyampaikan ilmu. Tapi tidak memenuhi kebutuhan lainnya. Bagaimana ya?


Sikap Menyimak yang Antusias



Apa yang bisa dilakukan agar menjadi guru yang dicintai? Bersikap tulus dan jujur. Itu saja..

Anak seringkali ingin bercerita, tuluslah ketika mendengarkannya. Saat kita sedang tidak punya waktu yang leluasa, jujurlah menyampaikannya. Anak akan menghargai dan paham.

Ketika bercanda dengan mereka, tuluslah saat tertawa. Anak merasakan tawa kita bahagia atau hambar dan terpaksa..

Ketika mereka bersedih, pelukan hangat sebentar yang tulus  kita lakukan akan menjadi sangat berarti.

Anak akan bisa langsung mencintai kita, ketika mereka juga merasakan betapa kita juga mencintai mereka dengan tulus.
Bermain dengan Pengawasan Guru

Menjadi guru yang dicintai, bukan karena betapa pintarnya kita, betapa cantik atau kayanya kita. Menjadi guru yang dicintai itu adalah guru yang memakai hati. Ketika mengajar, ketika sedang mendisiplinkan, ketika sedang bermain dan juga ketika kita sedang menghargai keberadaan anak-anak. Baik di kelas maupun di hati kita.
Kelas 1 Sultan Hasanuddin SD GagasCeria Bandung 1314

Senin, 02 Desember 2013

Bekerja atau Tidak Bekerja




Perempuan, perlu bekerja atau tidak sih?
Ketika masih kuliah, aku selalu berdebat tentang hal ini. Beberapa pria tidak masuk hitungan untuk dijadikan kandidat suami karena hal ini. Ketika mereka dengan “semena-mena” mengatakan,”Jika kamu jadi istriku, kamu ga boleh bekerja.” Aduuuh, aku langsung menggaris bawahi namanya. Dia ga akan jadi suamiku. Hehe

Saat itu aku berpikir, buat apa capek-capek cari ilmu kalau tidak diamalkan. Rasanya sedih banget orangtuaku yang sudah berkorban banyak untuk  menyekolahkan aku tapi “tidak ada hasilnya”.

Intinya sih, aku hanya ingin jadi perempuan yang mandiri. Tidak hanya tergantung pada suami. Saat mencari pendamping hidup, keinginanku ini aku sampaikan. Pembahasannya mendalam dan menyeluruh, dengan segala plan A dan plan B. Alhasil sekarang aku dan suami sepakat, jika beliau ingin wirausaha, maka aku harus punya pekerjaan tetap. Bukan apa-apa, kami realistis aja, ekonomi keluarga harus bisa terus tegak. Wirausaha itu kalau untung bisa berlipat-lipat. Kalau rugi juga bisa habis-habisan.

Saat memasuki dunia kerja, ketika wawancara aku bilang bahwa aku bukanlah orang yang senang loncat sana loncat sini. Bila sepaham aku akan terus tumbuh dan berkembang bersama. Selama ini rasanya tempat kerjaku juga pekerjaanku masih bisa membuatku nyaman, tenang dan bahagia.

Beberapa bulan terakhir ini, aku banyak mendapatkan pesan dari berbagai social media. Isi pesannya kurang lebih tentang seorang intelektual yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Mengurus anaknya dengan tangannya sendiri. Berhenti menjadi seorang professional dan  sepenuhnya menjalankan peran sebagai ibu dan istri yang baik. Wow pesan itu tampaknya sangat menginspirasi banyak teman. Membuat aku tercenung. Apa iya yang memutuskan bekerja untuk keluarga itu tidak sebaik yang menjadi ibu rumah tangga penuh? Apa iya seorang perempuan itu harus sepenuhnya di rumah mengurus anak dan suami saja baru kemudian menjadi yang paling mulia?

Menurut pendapatku, itu semua kembali pada tujuan dan cita-cita serta keadaan lingkungan seseorang. Kembali lagi pada pilihan yang dijatuhkan. Tidak ada yang salah dan tidak juga ada yang lebih buruk dari yang lain. Semua memiliki konsekuensi sendiri-sendiri.  

Wanita bekerja, pastinya memiliki beberapa hal yang harus didelegasikan pada yang lain. Kalau balik lagi ke agama, jaman dulu Ibunda Nabi Muhammad SAW juga memiliki pengasuh untuk anaknya. Khadimat  ada untuk  membantu membereskan rumah. Hal yang harus diperhatikan adalah kerjasama dan komunikasi yang positif dengan suami. Waktu yang berkualitas ketika bersama anak. Produktivitas ketika bekerja. 

Tidak perlu merasa bersalah karena meninggalkan anak untuk bekerja. Hal itu dapat membuat kita menjadi permisif pada anak. Berusaha seimbang, ada kalanya kita harus mendahulukan yang satu dibandingkan yang lain. Tentunya harus pandai menentukan prioritas dengan memiliki landasan berpikir yang kuat.
Jadi bekerja atau jangan ya??

Ikuti kata hati, lihat kebutuhan, komunikasikan. The decision, it’s all yours. Semua baik bila didasari niat yang baik. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Aamiin